Jumat, 30 Mei 2025

Lawan Arus Media Sosial: Jadi Diri Sendiri, Kenapa Tidak?

Hai teman-teman! Siapa di sini yang merasa media sosial itu kadang bikin kita jadi robot? Follow tren ini, ikut gaya itu, posting yang begini, dan ujung-ujungnya malah jadi mirip sama orang lain. Padahal, kita semua punya keunikan masing-masing, kan? Nah, kali ini kita akan bahas kenapa sih kita harus berani melawan standarisasi media sosial dan jadi diri sendiri yang otentik.

Ketika Media Sosial Mendikte "Sempurna" Itu yang bagaimana

Coba jujur, berapa banyak dari kita yang merasa tertekan untuk menampilkan sisi "sempurna" di media sosial? Harus cantik/ganteng, punya barang branded, liburan ke tempat estetik, atau punya circle pertemanan yang hits. Tekanan ini bukan cuma perasaan kita saja, lho. Dalam ilmu Komunikasi Massa, kita kenal dengan konsep Agenda-Setting dan Framing. Media, termasuk media sosial, punya kekuatan untuk membentuk apa yang kita anggap penting (Agenda-Setting) dan bagaimana kita seharusnya memandang sesuatu (Framing).

Misalnya, kalau terus-menerus muncul postingan orang-orang dengan gaya hidup tertentu, kita tanpa sadar bisa menganggap itulah "standar" kebahagiaan atau kesuksesan. Padahal, itu semua bisa jadi hanya sebagian kecil dari realita, atau bahkan sudah melalui proses editing dan staging yang panjang.

Bahaya Ikut Arus Standarisasi

Terus-menerus mengikuti standarisasi media sosial bisa berdampak negatif pada kita. Pertama, kesehatan mental kita bisa terganggu. Munculnya perasaan tidak cukup, rendah diri, atau bahkan depresi karena membandingkan diri dengan orang lain. Kedua, kreativitas dan orisinalitas kita bisa mati. Kalau semua orang mengikuti tren yang sama, di mana letak keunikan kita? Padahal, justru dari keunikan itulah kita bisa menemukan potensi diri yang sesungguhnya.

Selain itu, dalam konteks Literasi Media, kita perlu banget punya kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi informasi. Jangan mudah percaya semua yang kita lihat di media sosial. Pahami bahwa setiap konten punya tujuan, dan tidak semua yang terlihat indah itu nyata adanya. Kita harus bisa menyaring dan memahami pesan-pesan yang ada, agar tidak mudah terjebak dalam perangkap standarisasi.

Gimana Cara Melawan Standarisasi Media Sosial?

Tenang, bukan berarti kita harus berhenti main media sosial sama sekali. Justru, kita bisa kok memanfaatkan media sosial untuk hal yang positif dan tetap jadi diri sendiri.

  1. Pilih Lingkungan yang Mendukung: Unfollow akun-akun yang bikin kamu merasa insecure atau tertekan. Follow akun-akun yang menginspirasi, positif, dan menampilkan keberagaman.
  2. Fokus pada Diri Sendiri: Ingat, setiap orang punya timeline dan perjalanannya sendiri. Jangan sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Fokus pada pertumbuhan dan kebahagiaanmu sendiri.
  3. Berani Tampil Beda: Tidak masalah kalau postinganmu tidak seramai postingan orang lain. Yang penting, itu adalah ekspresi autentik dirimu. Tunjukkan hobimu, pemikiranmu, atau hal-hal yang benar-benar kamu suka, meskipun tidak sedang jadi tren.
  4. Bijak Menggunakan Filter dan Editing: Boleh saja pakai filter untuk mempercantik foto, tapi jangan sampai mengubah dirimu sepenuhnya. Ingat, dirimu yang sebenarnya jauh lebih berharga.
  5. Pentingnya Digital Wellness: Batasi waktu layar. Beri jeda untuk melakukan aktivitas di dunia nyata. Interaksi langsung dengan teman dan keluarga jauh lebih bermakna daripada sekadar scroll timeline.

Jadi, Mari Jadi Diri Sendiri!

Melawan standarisasi media sosial itu bukan hal yang mudah, tapi sangat mungkin untuk dilakukan. Dengan menjadi diri sendiri, kita tidak hanya menjaga kesehatan mental kita, tetapi juga memberikan ruang bagi orang lain untuk berani tampil otentik. Mari kita jadikan media sosial sebagai platform yang mendukung keberagaman, kreativitas, dan ekspresi diri yang positif. Jangan biarkan scroll tanpa henti membuat kita lupa akan keunikan diri kita.


Elefthero | Counter Standart Sosmed

 "Sejatinya, semua orang bebas untuk berekspresi"

PENULIS: TAJIRON KAHFI

Referensi: 

Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2011). Theories of Human Communication (10th ed.). Waveland Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sosial Media, Gengsi, dan Beban Finansial: Tantangan Anak Muda Masa Kini

 Akhir-akhir ini, sosial media semakin liar membawa manusia terbawa arus. Banyak hal yang sejatinya tidak terlalu punya urgensi, namun terba...