Hai teman-teman! Siapa di sini yang merasa media sosial itu kadang bikin kita jadi robot? Follow tren ini, ikut gaya itu, posting yang begini, dan ujung-ujungnya malah jadi mirip sama orang lain. Padahal, kita semua punya keunikan masing-masing, kan? Nah, kali ini kita akan bahas kenapa sih kita harus berani melawan standarisasi media sosial dan jadi diri sendiri yang otentik.
Ketika Media Sosial Mendikte "Sempurna" Itu yang bagaimana
Coba
jujur, berapa banyak dari kita yang merasa tertekan untuk menampilkan sisi
"sempurna" di media sosial? Harus cantik/ganteng, punya barang
branded, liburan ke tempat estetik, atau punya circle pertemanan yang
hits. Tekanan ini bukan cuma perasaan kita saja, lho. Dalam ilmu Komunikasi
Massa, kita kenal dengan konsep Agenda-Setting dan Framing.
Media, termasuk media sosial, punya kekuatan untuk membentuk apa yang kita
anggap penting (Agenda-Setting) dan bagaimana kita seharusnya memandang sesuatu
(Framing).
Misalnya,
kalau terus-menerus muncul postingan orang-orang dengan gaya hidup tertentu,
kita tanpa sadar bisa menganggap itulah "standar" kebahagiaan atau
kesuksesan. Padahal, itu semua bisa jadi hanya sebagian kecil dari realita,
atau bahkan sudah melalui proses editing dan staging yang panjang.
Bahaya Ikut Arus Standarisasi
Terus-menerus
mengikuti standarisasi media sosial bisa berdampak negatif pada kita. Pertama, kesehatan
mental kita bisa terganggu. Munculnya perasaan tidak cukup, rendah diri,
atau bahkan depresi karena membandingkan diri dengan orang lain. Kedua, kreativitas
dan orisinalitas kita bisa mati. Kalau semua orang mengikuti tren yang
sama, di mana letak keunikan kita? Padahal, justru dari keunikan itulah kita
bisa menemukan potensi diri yang sesungguhnya.
Selain
itu, dalam konteks Literasi Media, kita perlu banget punya kemampuan
untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi informasi. Jangan mudah percaya
semua yang kita lihat di media sosial. Pahami bahwa setiap konten punya tujuan,
dan tidak semua yang terlihat indah itu nyata adanya. Kita harus bisa menyaring
dan memahami pesan-pesan yang ada, agar tidak mudah terjebak dalam perangkap
standarisasi.
Gimana
Cara Melawan Standarisasi Media Sosial?
Tenang,
bukan berarti kita harus berhenti main media sosial sama sekali. Justru, kita
bisa kok memanfaatkan media sosial untuk hal yang positif dan tetap jadi diri
sendiri.
- Pilih Lingkungan yang
Mendukung: Unfollow akun-akun yang bikin kamu
merasa insecure atau tertekan. Follow akun-akun yang menginspirasi,
positif, dan menampilkan keberagaman.
- Fokus pada Diri Sendiri:
Ingat, setiap orang punya timeline dan perjalanannya sendiri.
Jangan sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Fokus pada pertumbuhan
dan kebahagiaanmu sendiri.
- Berani Tampil Beda:
Tidak masalah kalau postinganmu tidak seramai postingan orang lain. Yang
penting, itu adalah ekspresi autentik dirimu. Tunjukkan hobimu,
pemikiranmu, atau hal-hal yang benar-benar kamu suka, meskipun tidak
sedang jadi tren.
- Bijak Menggunakan Filter dan
Editing: Boleh saja pakai filter untuk mempercantik
foto, tapi jangan sampai mengubah dirimu sepenuhnya. Ingat, dirimu yang
sebenarnya jauh lebih berharga.
- Pentingnya Digital
Wellness: Batasi waktu layar. Beri jeda untuk melakukan
aktivitas di dunia nyata. Interaksi langsung dengan teman dan keluarga
jauh lebih bermakna daripada sekadar scroll timeline.
Jadi,
Mari Jadi Diri Sendiri!
Referensi:
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2011). Theories of Human Communication (10th ed.). Waveland Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar