Generasi yang akrab dengan teknologi, realitanya akan mengalami kemajuan dan kemunduran secara bersamaan. Hal itulah yang dialami generasi Z (Gen z), khususnya di Indonesia. Pola hidup manusia terus mengalami perubahan seiring berkembangnya zaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap masa, melahirkan generasi dengan karakteristiknya masing-masing, termasuk gen Z yang saat ini memasuki usia emas. Orang-orang yang lahir dalam kurun waktu 1997 sampai 2010 ini merupakan generasi yang sangat bersahabat dengan teknologi. Bagaimana tidak, mereka tumbuh beriringan dengan teknologi, khususnya sosial media.
Seolah menjadi kebutuhan primer, memiliki akun sosial media merupakan hal wajib bagi mereka. banyak gen Z yang meluapkan berbagai ekspresinya disini. Bahkan banyak juga yang menjadikan konten-konten sosial media sebagai 'pedoman hidup'. Berbagai jenis sosial media seperti Instagram, Facebook, X, dan Tiktok, dianggap memiliki kegunaannya masing masing bagi gen Z. Di Facebook, umumnya mereka melakukan transaksi jual beli, dan sarana untuk mencari teman-teman lama. Sedangkan X dan Instagram, banyak dari gen Z menggunakannya untuk memamerkan pencapaian dan keresahan terhadap dinamika kehidupan.
Adapun tiktok, tak sedikit kita jumpai berbagai kutipan yang seolah menjadi sumber relevansi bagi kehidupan gen Z. Hal inilah yang kemudian disindir sebagai 'standar tiktok'. Bagi gen Z, Tiktok tidak hanya menjadi sarana hiburan, melainkan juga sebuah platform yang kontennya diianggap sebagai standar kebahagiaan dalam kehidupan. Beberapa hal yang sering dijadikan acuan kebahagiaan dari tiktok diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Standar Mencari Pasangan
Dikutip dari website kumparan.com, semenjak banyaknya konten-konten bucin atau percintaan, kriteria remaja sekarang memiliki selera yang tinggi dalam memilih pasangan. Banyak anak muda yang dituntut untuk memenuhi kriteria yang sedang hits di sosial media. Salah satu kriteria yang dimaksud adalah memiliki typing ganteng, yaitu cara penulisan dalam roomchat tanpa diawali huruf kapital, memanjangkan huruf pada akhir kosakata, memakai emoticon tertentu pada akhir kalimat, dan masih banyak lagi.
Selain itu, standar lain dalam memilih pasangan yang banyak diambil dari tiktok adalah kriteria kendaraan, outfit, hingga hal remeh temeh yang dituntut untuk dilakukan secara inisiatif oleh si pasangan, hal ini disebut sebagai act of service. contohnya menurunkan pijakan kaki sepeda motor, membukakan pintu mobil, hingga membuka segel tutup botol. Orang yang tidak berinisiatif untuk act of service, dianggap tidak memenuhi kriteria pasangan idaman.
2. Standar dan generalisasi selera hingga penampilan
Selain standar mencari pasangan, berbagai selera penampilan seperti gaya rambut, musik, hingga tempat nongkrong seringkali menjadi hal yang diperdebatkan. Hal ini yang memicu adanya standar penampilan dan gaya hidup. Tak jarang mereka saling singgung di sosial media khususnya tiktok, hanya karena perbedaan selera penampilan. The nuruls untuk para wanita berkerudung, baju rajut, dan gemar memakan seblak. Anak Skena untuk style kaos band, celana gombrang, dan penampilan ala anak muda tahun 90an. Hingga Anak motor, yang hobi memodifikasi motor, dan mempublikasikan motornya di sosial media.
Kita kerap melihat 'perdebatan kosong' tentang siapa golongan terbaik diantara golongan-golongan tadi. Perbedaan selera yang sebelumnya dianggap lumrah, kini menjadi perdebatan seiring menjamurnya konten-konten standarisasi di Tiktok. Tak jarang, perdebatan tersebut bahkan merujuk ke arah rasisme.
3. Standar pendidikan
Apabila generasi sebelumnya berlomba-lomba untuk mengharumkan nama kampus, mereka yang termakan standar sosial media justru ingin harum dibalik nama kampus. Banyak dari generasi Z berlomba-lomba untuk masuk sekolah maupun universitas impiannya. Tidak jarang juga kita menemui orang-orang yang mengaku 'terpaksa' masuk sebuah kampus, hanya karena ditolak oleh kampus impiannya Akibat dari gengsi tersebut, mereka kian merasa malas dan tak bergairah untuk menempuh pendidikan. Bahkan tak sedikit juga yang memilih gapyear demi mengikuti tes masuk universitas impian mereka ditahun berikutnya. Kesalahan pola pikir semacam ini justru seolah dinormalisasi.
Sebagai mahasiswa, seharusnya kita bangga dengan nama kampus yang telah menaungi pendidikan kita, dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengharumkan namanya agar setara dengan kampus-kampus impian kita. Selain itu, perdebatan antara lulusan sekolah menengah dengan anak kuliahan, sering kita jumpai di berbagai platform, khususnya tiktok. Keduanya saling beradu argumen, bahkan saling merendahkan satu sama lain melalui konten-konten yang mereka buat di TikTok.
Tiga hal tersebut tadi, seolah menjadi standar kebahagiaan bagi gen Z. TikTok sebagai platform yang sangat banyak digunakan oleh anak muda, kerap memengaruhi pola pikir mereka. Standar yang tinggi tersebut, akhirnya merusak mentalitas bersaing para gen Z, karena mereka akan minder alias 'insecure' apabila standar kebahagiaannya tidak terpenuhi. Akibat konten-konten sosial media, mereka justru gusar dan risau apabila tidak mengikuti trend dan berbeda dari yang lain. Selain itu, hanya karena perbedaan pendapat dan sudut pandang, merekapun kerap merendahkan satu sama lain.
Hal ini berbanding dengan generasi-generasi sebelumnya yang cenderung lebih sederhana dalam membahagiakan diri. Akhirnya banyak dari gen Z yang melek teknologi, namun tidak memiliki kepercayaan diri dan minim pengendalian emosi untuk mengoptimalkannya.
Oleh sebab itu, ada baiknya sebagai generasi yang berada di usia emas untuk bisa berpikir kritis dan jernih. Jangan sampai mentalitas kita jatuh karena konten-konten tanpa data yang disebarluaskan melalui sosial media. Media sosial memang membuat hidup memiliki banyak pilihan. Namun bagaimanapun, kehidupan yang realistis sesuai kemampuan justru lebih menenangkan dan menyenangkan, ketimbang diselimuti ketakutan dan berlomba dengan gengsi demi mengejar standar kebahagiaan publik semata.
Wihhh keren kak Fadhil Muhammad RF
BalasHapusstandar sosmed bikin kita lupa kalau dunia indah dgn segala perbedaan dan keunikannya
BalasHapussangat setuju dengan artikel ini standar sosmed sangat merusak gen z
BalasHapus