Jumat, 06 Juni 2025

Sosial Media, Gengsi, dan Beban Finansial: Tantangan Anak Muda Masa Kini

 Akhir-akhir ini, sosial media semakin liar membawa manusia terbawa arus. Banyak hal yang sejatinya tidak terlalu punya urgensi, namun terbalut oleh gengsi untuk diikuti. Menanggapi momen ini, tentu harus diimbangi oleh literasi digital yang mumpuni, agar dapat memilah-milah konten yang justru membebani.

Dilansir dari RRI.co.id,  menurut profesor psikologi dari Ludwig-Maximilians-Universität München, Dr. Sarah Diefenbach, media sosial sering kali menampilkan gambaran hidup yang sudah dipoles dan tidak realistis. Lebih jauh, menurutnya justru berpotensi menekan individu untuk hidup sesuai standar yang sebenarnya, belum tentu dapat digapai.

Pendapat Sarah tentu tidak dapat dipungkiri. Di Indonesia, sosial media seolah menjadi kebutuhan primer yang wajib dimiliki semua kalangan, utamanya anak muda. Menghadirkan berbagai pilihan platform, dengan jenis konten yang beragam, sosial media tak sekedar menjadi hiburan, ia menjelma menjadi ancaman.

Mengapa standar sosmed dianggap sebagai ancaman? sebab seiring perkembangan zaman, banyak konten sosial media yang kemudian seolah dijadikan acuan dalam kehidupan sehari hari. Contohnya, dalam dunia gadget, "apel" dianggap lebih keren ketimbang "robot". Lantas membuat mereka yang memiliki ponsel "apel" dianggap sebagai kelas atas, sosialita, dan kekinian. Sedangkan pemilik ponsel "robot" justru dianggap sebaliknya: kelas menengah dan ketinggalan jaman.

Standar ini tentu tak hanya membunuh karakter, namun juga memberikan tekanan bagi kemampuan finansial kita. Tak jarang demi memenuhi standar ini, seseorang rela mengambil pinjaman uang, membayar dengan paylater, hingga bahkan menyewa kepada orang lain.

Tentu, ini menjadi problematika baru di kehidupan masyarakat digital. Standar sosial media tak sepenuhnya harus diikuti. Sebagai anak muda, kita tentu harus memiliki pendirian agar tidak mudah disetir oleh standar apapun. Literasi digital sangat diperlukan, tidak hanya sebagai upaya untuk mencegah diri termakan hoax, literasi digital juga perlu untuk kita agar tidak lagi termakan konten-konten yang membebani kehidupan.

Elefthero | Counter Standart Sosmed

"Sejatinya, semua orang bebas untuk berekspresi"

#YangWajarWajarAja

#HidupTerserahKamu #EleftheroMovement

Penulis: Fadhil Muhammad RF

Sabtu, 31 Mei 2025

Eksis Tanpa Memaksakan: Melawan Tekanan FOMO di TikTok

 

EKSIS TANPA MEMAKSAKAN: MELAWAN TEKANAN FOMO DI TIKTOK

Pemateri: Riki Khoerun

Program kerja live series pertama dari komunitas Elefthero berfokus pada eksistensi tanpa paksaan: melawan tekanan fomo di media sosial, khususnya Tiktok.  Pada live series perdana ini, terdapat banyak pertanyaan yang diajukan kepada pemateri, dimulai dengan pertanyaan, "Menurut pemateri, apa yang menyebabkan banyak orang merasa FOMO (Fear of Missing Out) saat menggunakan Tiktok?"  

Pemateri menjawab: FOMO sering kali muncul akibat algoritma Tiktok yang dirancang untuk menyajikan konten-konten viral, yang membuat orang yang mengikuti tren tersebut merasa lebih menarik. Ketika kita tidak terlibat dalam konten-konten viral itu, kita cenderung merasa kurang menarik, yang menyebabkan kita membandingkan diri dengan orang lain secara tidak sadar. Rasanya seperti, "Jika aku tidak ikut, aku akan ketinggalan."

Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya yaitu "Apa dampak psikologis yang dapat muncul akibat tekanan FOMO di media sosial, khususnya Tiktok?". Mengikuti tren atau FOMO di media sosial ini berdampak pada kesehatan psikologis kita. Contohnya bisa menyebabkan stres atau kecemasan berlebih, kadang membuat kita merasa kurang terus-menerus. Namun, dalam jangka panjang, hal ini bisa mempengaruhi kepercayaan diri kita. Karena kita merasa dituntut untuk selalu memperbarui diri di media sosial, sementara kapasitas yang kita miliki tidak memadai untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sehingga, hal ini merusak psikologis kita.

Pertanyaan selanjutnya adalah "Menurut pemateri, bagaimana cara membangun kepercayaan diri agar tidak mudah terpengaruh oleh tren yang sedang viral?".  Kepercayaan diri tumbuh ketika kita memahami dan yakin pada diri sendiri, baik dari kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki. Tren bisa menjadi inspirasi, tetapi bukan berarti kita harus mengikuti setiap tren yang ada. Ada beberapa tips dari pemateri mengenai cara membangun kepercayaan diri agar tidak mudah terpengaruh oleh tren viral, yaitu:

1. Refleksi diri/ngobrol dengan diri sendiri melalui journaling

2. Fokus pada kemajuan diri sendiri, bukan membandingkan diri dengan orang lain

3. Hargai setiap pencapaian, sekecil apapun pencapaian tersebut.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai tips agar pengguna media sosial, terutama Tiktok, tetap bisa eksis tanpa harus memaksakan diri untuk mengikuti semua tren. Ada beberapa tips yang diberikan oleh pemateri kepada kami/audience, yaitu:

1. Temukan konten atau gaya yang paling sesuai dengan diri kita.

2. Konsisten menjadi diri sendiri atau dengan ciri khas yang dimiliki.

3. Saring konten sesuai dengan nilai dan kenyamanan pribadi.

Kita harus ingat satu poin penting, yaitu eksis itu bukan soal ramai atau viralnya kita di media sosial, tetapi soal otentik. Pertanyaan selanjutnya adalah “apakah penting untuk memiliki batasan dalam menggunakan Tiktok? Bagaimana cara menetapkannya?”. Jawaban dari pemateri adalah sangat penting, karena jika tidak ada batasan, maka kita akan kecanduan media sosial/Tiktok dan itu akan berpengaruh pada kesehatan mental kita, terutama bagi remaja atau generasi Z seperti kita. Ada beberapa tips untuk membuat batasan dalam menggunakan media sosial/Tiktok, yaitu:

1. Atur jadwal bermain media sosial (jam berapa dan durasi bermain).

2. Manfaatkan fitur manajemen waktu layar.

3. Peka terhadap sinyal tubuh; ketika tubuh merasa lelah, maka istirahat dari bermain media sosial.

4. Lakukan hal-hal positif di luar media sosial.

Adapun beberapa pertanyaan yang diajukan oleh audience melalui kolom komentar. Salah satunya, pertanyaan yang datang dari @_sylatifah “a, gimana caranya biar kita tetap bahagia sama diri sendiri tanpa harus mematok ke diri orang lain?”, ada pula pertanyaan yang datang dari @lawahidz_ “kak, mau tanya, kira-kira kenapa sering sulit menerima diri seutuhnya, bukan cuma hal baiknya, tapi menerima diri bahkan yang ‘buruknya’ juga?”

Terkadang, menerima diri sendiri sepenuhnya bisa menjadi tantangan, tidak hanya untuk hal-hal baik, tetapi juga untuk hal-hal buruk. Kekurangan yang kita miliki sering kali menjadi bahan perbandingan dengan orang lain, sehingga kita cenderung mengkritik diri sendiri dengan keras. Berikut adalah beberapa tips untuk mencintai dan menerima diri sendiri:

1. Kurangi perbandingan diri dengan orang lain.

2. Ekspresikan diri dengan menciptakan konten yang mencerminkan diri kita yang sebenarnya, tanpa rasa takut akan penilaian orang lain.

3. Fokus pada tujuan pembuatan konten tersebut, yaitu untuk diri sendiri, bukan untuk menyenangkan atau mendapatkan pujian dari orang lain.

4. Ucapkan afirmasi positif kepada diri sendiri, sekecil apapun itu.

5. Setiap pagi, tingkatkan suasana hati agar tetap baik, karena ini akan mempengaruhi mood kita sepanjang hari.

Selain itu, ada pesan dari pemateri tentang bagaimana eksis di media sosial tanpa memaksakan diri. Poin pentingnya adalah kita harus memiliki fondasi cinta diri. Mulailah dari hal-hal kecil dan lakukan hal positif setiap hari. Merasa insecure adalah hal yang wajar, tetapi kita perlu mengubah rasa insecure tersebut menjadi rasa syukur. Ingatlah tujuan kita dan selalu percayalah bahwa setiap orang memiliki jalannya masing-masing.

Jumat, 30 Mei 2025

Lawan Arus Media Sosial: Jadi Diri Sendiri, Kenapa Tidak?

Hai teman-teman! Siapa di sini yang merasa media sosial itu kadang bikin kita jadi robot? Follow tren ini, ikut gaya itu, posting yang begini, dan ujung-ujungnya malah jadi mirip sama orang lain. Padahal, kita semua punya keunikan masing-masing, kan? Nah, kali ini kita akan bahas kenapa sih kita harus berani melawan standarisasi media sosial dan jadi diri sendiri yang otentik.

Selasa, 27 Mei 2025

Menjadi Keren Tanpa Rokok dan Berkomunikasi Bijak: Refleksi Gaya Hidup Sehat dan Islami bagi Generasi Muda

 Dalam kehidupan sehari-hari, remaja dan mahasiswa sering kali menghadapi tekanan sosial serta ekspektasi dari lingkungan sekitar. Salah satu bentuk tekanan yang paling umum adalah dorongan untuk "menyesuaikan diri" agar terlihat menarik atau diterima dalam kelompok pertemanan. Sayangnya, dalam usaha untuk tampil menarik, banyak dari mereka yang akhirnya memilih jalan yang keliru, seperti mulai merokok. Rokok sering kali dianggap sebagai simbol kedewasaan, keberanian, dan bahkan kepercayaan diri. Namun, fakta-fakta ilmiah dan data kesehatan justru menunjukkan bahwa merokok adalah kebiasaan yang sangat merugikan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitar. Lebih dari itu, menjadi "keren" sejatinya bukan hanya soal penampilan fisik, tetapi juga tentang sikap, prinsip hidup, dan cara berkomunikasi. Artikel ini akan membahas dua hal penting yang saling berkaitan: pertama, bagaimana cara menjadi keren tanpa harus merokok; dan kedua, bagaimana menggunakan ucapan yang bijak dan mulia dalam kehidupan sehari-hari melalui konsep "Qaulan" dalam Al-Qur’an.

Merokok dan Citra Keren: Fakta atau Ilusi?

    Merokok sering kali dipandang sebagai simbol kedewasaan atau keberanian, terutama di kalangan remaja. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh media, lingkungan sosial, serta peran industri rokok yang dengan cermat membentuk citra "maskulin", "berani", atau "bebas" melalui berbagai kampanye dan promosi. Namun, mari kita tinjau data berikut:

  1. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2023), lebih dari 200.000 orang meninggal setiap tahun akibat konsumsi rokok.
  2. Jumlah perokok aktif di Indonesia telah mencapai 70 juta orang, dan 7,4% di antaranya adalah anak-anak usia 10–18 tahun.
  3. Kelompok usia dengan tingkat perokok tertinggi adalah remaja usia 15–19 tahun, yaitu masa sekolah menengah hingga awal kuliah.

    Ini menunjukkan bahwa industri rokok secara tidak langsung menargetkan anak muda yang sedang dalam fase pencarian jati diri. Apa yang sering disebut sebagai "gaya hidup keren" ternyata membawa dampak serius terhadap kesehatan jangka panjang. Selain itu, paparan asap rokok juga membahayakan orang lain. Anak kecil dan bayi yang tinggal bersama perokok berisiko mengalami stunting atau gangguan tumbuh kembang akibat terhirupnya zat beracun dari asap rokok. Oleh karena itu, kebiasaan merokok bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain — bahkan generasi masa depan. 

    Menjadi keren bukanlah sekadar mengikuti apa yang dilakukan oleh orang lain. Sebaliknya, seseorang yang berani untuk berbeda dan memilih jalan hidup yang sehat menunjukkan bahwa ia memiliki prinsip dan kesadaran diri yang tinggi. Keren yang sejati adalah ketika seseorang mampu:

  1. Menolak tekanan dari pergaulan yang tidak sehat,
  2. Menjaga tubuh dan pikirannya tetap bersih dari zat adiktif,
  3. Memiliki gaya komunikasi yang santun dan inspiratif,
  4. Berani bersikap dan berkata jujur,
  5. Menginspirasi orang lain untuk hidup lebih baik.

    Keberanian untuk menolak ajakan merokok bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah indikasi kekuatan karakter. Di era digital saat ini, di mana informasi dan tren menyebar dengan sangat cepat, penting bagi generasi muda untuk lebih selektif dan kritis terhadap apa yang dianggap sebagai “gaya hidup keren”. Di tengah berbagai tantangan zaman, anak muda yang mampu menjaga gaya hidup sehat sekaligus memiliki sikap komunikasi yang santun adalah mereka yang siap menjadi agen perubahan. Kombinasi antara menjaga kesehatan fisik (dengan tidak merokok) dan menjaga kesehatan sosial (dengan berbicara baik) akan menciptakan generasi muda yang kuat, berwawasan luas, dan beretika.

    Kebiasaan yang sehat dan penggunaan bahasa yang baik akan membuka lebih banyak kesempatan, baik dalam pergaulan, pendidikan, maupun karier. Seseorang yang tidak merokok dan mampu berbicara dengan bijak cenderung lebih dipercaya, dihormati, dan dihargai oleh orang-orang di sekitarnya. Keren bukanlah tentang mengikuti tren. Keren bukan tentang merokok, gaya hidup bebas, atau ucapan yang kasar. Keren adalah ketika seseorang memiliki prinsip, mampu berkata jujur, dan memilih untuk hidup sehat serta berakhlak baik. Merokok bukanlah cara untuk menunjukkan keberanian atau eksistensi diri. Sebaliknya, menolak rokok dan memilih gaya hidup yang sehat serta komunikatif adalah cerminan dari kedewasaan yang sejati. Dalam hal berbicara, mengikuti panduan Qaulan dari Al-Qur’an akan membantu kita menjadi individu yang lebih bijak dan bermartabat. Karena pada akhirnya, dunia membutuhkan lebih banyak anak muda yang tidak hanya pintar dan aktif, tetapi juga sehat secara fisik dan mental serta bijak dalam berbicara dan bertindak.

Tulis di komentar:

“Menurutku, keren itu adalah…”

References

Rokom. (2024, May 29). Perokok Aktif Di Indonesia Tembus 70 Juta orang, Mayoritas Anak Muda. Sehat Negeriku. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20240529/1545605/perokok-aktif-di-indonesia-tembus-70-juta-orang-mayoritas-anak-muda/ 

Elefthero | Counter Standart Sosmed

 "Sejatinya, semua orang bebas untuk berekspresi"

penulis by: Tajiron Kahfi


Sabtu, 17 Mei 2025

Standar Sosmed, Penyakit Gen Z di Era Digital

 Generasi yang akrab dengan teknologi, realitanya akan mengalami kemajuan dan kemunduran secara bersamaan. Hal itulah yang dialami generasi Z (Gen z), khususnya di Indonesia. Pola hidup manusia terus mengalami perubahan seiring berkembangnya zaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap masa, melahirkan generasi dengan karakteristiknya masing-masing, termasuk gen Z yang saat ini memasuki usia emas. Orang-orang yang lahir dalam kurun waktu 1997 sampai 2010 ini merupakan generasi yang sangat bersahabat dengan teknologi. Bagaimana tidak, mereka tumbuh beriringan dengan teknologi, khususnya sosial media.

Seolah menjadi kebutuhan primer, memiliki akun sosial media merupakan hal wajib bagi mereka. banyak gen Z yang meluapkan berbagai ekspresinya disini. Bahkan banyak juga yang menjadikan konten-konten sosial media sebagai 'pedoman hidup'.  Berbagai jenis sosial media seperti Instagram, Facebook, X, dan Tiktok, dianggap memiliki kegunaannya masing masing bagi gen Z. Di Facebook, umumnya mereka melakukan transaksi jual beli, dan sarana untuk mencari teman-teman lama. Sedangkan X dan Instagram, banyak dari gen Z menggunakannya untuk memamerkan pencapaian dan keresahan terhadap dinamika kehidupan. 

Adapun tiktok, tak sedikit kita jumpai berbagai kutipan yang seolah menjadi sumber relevansi bagi kehidupan gen Z. Hal inilah yang kemudian disindir sebagai 'standar tiktok'.  Bagi gen Z, Tiktok tidak hanya menjadi sarana hiburan, melainkan juga sebuah platform yang kontennya diianggap sebagai standar kebahagiaan dalam kehidupan. Beberapa hal yang sering dijadikan acuan kebahagiaan dari tiktok diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Standar Mencari Pasangan

Dikutip dari website kumparan.com, semenjak banyaknya konten-konten bucin atau percintaan, kriteria remaja sekarang memiliki selera yang tinggi dalam memilih pasangan. Banyak anak muda yang dituntut untuk memenuhi kriteria yang sedang hits di sosial media. Salah satu kriteria yang dimaksud adalah memiliki typing ganteng, yaitu cara penulisan dalam roomchat tanpa diawali huruf kapital, memanjangkan huruf pada akhir kosakata, memakai emoticon tertentu pada akhir kalimat, dan masih banyak lagi.

Selain itu, standar lain dalam memilih pasangan yang banyak diambil dari tiktok adalah kriteria kendaraan, outfit, hingga hal remeh temeh yang dituntut untuk dilakukan secara inisiatif oleh si pasangan, hal ini disebut sebagai act of service. contohnya menurunkan pijakan kaki sepeda motor, membukakan pintu mobil, hingga membuka segel tutup botol. Orang yang tidak berinisiatif untuk act of service, dianggap tidak memenuhi kriteria pasangan idaman.

2. Standar dan generalisasi selera hingga penampilan

Selain standar mencari pasangan, berbagai selera penampilan seperti gaya rambut, musik, hingga tempat nongkrong seringkali menjadi hal yang diperdebatkan.  Hal ini yang memicu adanya standar penampilan dan gaya hidup. Tak jarang mereka saling singgung di sosial media khususnya tiktok, hanya karena perbedaan selera penampilan.  The nuruls untuk para wanita berkerudung, baju rajut, dan gemar memakan seblak. Anak Skena untuk style kaos band, celana gombrang, dan penampilan ala anak muda tahun 90an. Hingga Anak motor, yang hobi memodifikasi motor, dan mempublikasikan motornya di sosial media.

Kita kerap melihat 'perdebatan kosong' tentang siapa golongan terbaik diantara golongan-golongan tadi. Perbedaan selera yang sebelumnya dianggap lumrah, kini menjadi perdebatan seiring menjamurnya konten-konten standarisasi di Tiktok. Tak jarang, perdebatan tersebut bahkan merujuk ke arah rasisme.

3. Standar pendidikan

Apabila generasi sebelumnya berlomba-lomba untuk mengharumkan nama kampus, mereka yang termakan standar sosial media justru ingin harum dibalik nama kampus.  Banyak dari generasi Z berlomba-lomba untuk masuk sekolah maupun universitas impiannya. Tidak jarang juga kita menemui orang-orang yang mengaku 'terpaksa' masuk sebuah kampus, hanya karena ditolak oleh kampus impiannya Akibat dari gengsi tersebut, mereka kian merasa malas dan tak bergairah untuk menempuh pendidikan. Bahkan tak sedikit juga yang memilih gapyear demi mengikuti tes masuk universitas impian mereka ditahun berikutnya. Kesalahan pola pikir semacam ini justru seolah dinormalisasi. 

Sebagai mahasiswa, seharusnya kita bangga dengan nama kampus yang telah menaungi pendidikan kita, dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengharumkan namanya agar setara dengan kampus-kampus impian kita.  Selain itu, perdebatan antara lulusan sekolah menengah dengan anak kuliahan, sering kita jumpai di berbagai platform, khususnya tiktok. Keduanya saling beradu argumen, bahkan saling merendahkan satu sama lain melalui konten-konten yang mereka buat di TikTok. 

                                                                                                                                                                    

Tiga hal tersebut tadi, seolah menjadi standar kebahagiaan bagi gen Z. TikTok sebagai platform yang sangat banyak digunakan oleh anak muda, kerap memengaruhi pola pikir mereka. Standar yang tinggi tersebut, akhirnya merusak mentalitas bersaing para gen Z, karena mereka akan minder alias 'insecure' apabila standar kebahagiaannya tidak terpenuhi. Akibat konten-konten sosial media, mereka justru gusar dan risau apabila tidak mengikuti trend dan berbeda dari yang lain. Selain itu, hanya karena perbedaan pendapat dan sudut pandang, merekapun kerap merendahkan satu sama lain.

 Hal ini berbanding dengan generasi-generasi sebelumnya yang cenderung lebih sederhana dalam membahagiakan diri. Akhirnya banyak dari gen Z yang melek teknologi, namun tidak memiliki kepercayaan diri dan minim pengendalian emosi untuk mengoptimalkannya. 

Oleh sebab itu, ada baiknya sebagai generasi yang berada di usia emas untuk bisa berpikir kritis dan jernih. Jangan sampai mentalitas kita jatuh karena konten-konten tanpa data yang disebarluaskan melalui sosial media. Media sosial memang membuat hidup memiliki banyak pilihan. Namun bagaimanapun, kehidupan yang realistis sesuai kemampuan justru lebih menenangkan dan menyenangkan, ketimbang diselimuti ketakutan dan berlomba dengan gengsi demi mengejar standar kebahagiaan publik semata.

Elefthero | Counter Standart Sosmed

 "Sejatinya, semua orang bebas untuk berekspresi"

Penulis: Fadhil Muhammad RF

Resmi Dirilis: Logo Baru Elefthero, Simbol Kebebasan dari Standar Sosial Media

 Elefthero didirikan pada 5 Mei 2025 dan secara resmi meluncurkan logo pertamanya. Logo ini merupakan simbol visual yang mencerminkan semangat kebebasan serta pergerakan melawan norma-norma sosial media yang membatasi. Elefthero, yang berarti 'bebas' dalam bahasa Yunani, hadir sebagai komunitas yang mengajak masyarakat untuk hidup sesuai dengan realitas dan potensi diri, bukan berdasarkan harapan yang tidak realistis yang ditentukan oleh algoritma dan konten viral.    

  

    

    Logo ini berbentuk huruf 'E' yang terbuat dari garis lengkung dan lingkaran dinamis. Elemen visual ini dirancang untuk mencerminkan gerakan yang progresif, fleksibel, dan energik. Kombinasi warna biru gelap (#084550) dan hijau neon (#E6FF2B) dipilih dengan cermat. Biru gelap melambangkan kedalaman pemikiran dan kekuatan teknologi, sedangkan hijau neon mencerminkan semangat muda, energi, dan keberanian untuk melawan arus. Tipografi Barabara Mais Demo memperkuat identitas visual Elefthero, yang tegas, jelas, dan penuh karakter. Logo ini bukan sekadar identitas visual, tetapi juga mencerminkan misi Elefthero: membebaskan masyarakat dari tekanan standar media sosial, membangun kesadaran untuk memilah konten secara kritis, serta menumbuhkan kepercayaan diri untuk berani menjadi diri sendiri.

Elefthero | Counter Standart Sosmed

 "Sejatinya, semua orang bebas untuk berekspresi"

ig: @elefthero.id
tiktok: @elefthero_
email: eleftherossc@gmail.com

Logo Elefthero

   



Sosial Media, Gengsi, dan Beban Finansial: Tantangan Anak Muda Masa Kini

 Akhir-akhir ini, sosial media semakin liar membawa manusia terbawa arus. Banyak hal yang sejatinya tidak terlalu punya urgensi, namun terba...